Beberapa waktu yang lalu penulis menggunakan kereta api ke luar kota. Hal yang menarik pada interior kereta api adalah, seluruh sandaran kepala dari kursi dilapis kain penutup dengan muatan pesan dari Departemen Perdagangan RI. Pada bagian belakang dari kain sandaran kepala itu tertera tulisan “Memakai Produk Sendiri Bukti Kemandirian Bangsa”. Di bawah tulisan itu terlihat gambar dua orang – lelaki dan perempuan (sejenis patung loro-blonyo) – dengan pakaian tradisional, namun terendam air hingga batas dagu lelaki – adapun figur perempuan telah terendam (!). Dari mulut figur lelaki terlihat gelembung-gelembung udara keluar. Pada bagian bawah tertera nama dan logo Departemen Perdagangan Republik Indonesia. Departemen Perdagangan di bawah pimpinan Mari Elka Pangestu, bersama
Indonesia Design Power (IDP) tampak gencar mengangkat isu
Ekonomi kreatif, sebagai payung besar dari industri kreatif yang mencakup beragam skala industri. Awal bulan Agustus lalu Departemen ini mengadakan
Pameran Ekonomi Kreatif “Indonesia Bisa” 2008 sekaligus di tiga mal besar ibukota.
Penggunaan kain penutup sandaran kepala sebagai media iklan memang bukanlah hal baru. Kereta api sudah lama menggunakannya untuk media promosi. Media jenis demikian kini disebut
ambient media – berbagai jenis media yang tidak konvensional yang digunakan dengan tujuan ‘menjemput bola’, menjumpai khalayak sasaran di
point of contact yang spesifik, sesuai dengan kegiatan yang biasa dilakukan oleh khalayak sasaran. Dari segi penempatan media kain penutup sandaran kepala ini sangat efektif. Karena selama duduk berjam-jam di kereta api, maka tak terhitung berapa kali mata penumpang tertumbuk pada sandaran kepala dari kursi di depan kita itu. Sayangnya media yang sederhana namun ampuh ini tidak dirancang optimal.
Bila kita perhatikan desain kain sandaran kepala itu ada beberapa hal yang dapat dipertanyakan: mengapa untuk merepresentasikan produk Indonesia harus menggunakan penanda figur lelaki dan perempuan berpakaian tradisional? Hal ini justeru akan memperkuat citra negatif yang ada dibenak khalayak, atau
consumer insight, bahwa produk buatan Indonesia melulu tradisional, kuno, dan tidak mengikuti perkembangan jaman. Tampaknya kita masih sering terjebak oleh perangkap konsep budaya tradisional, bahwa untuk merepresentasikan keindonesiaan harus menggunakan ornamen tradisional, pakaian tradisional, secara eksplisit dan langsung. Kita sering kali mengkotakkan budaya Indonesia sebagai sesuatu yang statis dan tunggal, melupakan kemampuan nenek moyang kita yang secara kreatif mampu menciptakan pemahaman baru akan keindonesiaan yang beragam dan dinamis.
Penulis teringat dengan sebuah
lomba poster yang diadakan oleh Kementerian Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (UP3DN) pada tahun 1987. Sesuai dengan namanya, lomba ini diadakan untuk meningkatkan penggunaan produk dalam negeri. Juara pertama lomba ini adalah sebuah poster dengan desain yang sederhana namun sangat komunikatif, judulnya
“Buatan Indonesia, Mengapa Tidak?” karya Hanny Kardinata. Desainnya sangat moderen, tidak menggunakan elemen tradisional tertentu kecuali gambar figur seseorang dengan pakaian/jas hitam dan dasi berwarna merah-putih menggenggam tas belanja. Pesan implisit dari poster itu adalah bahwa dengan menggunakan produk dalam negeri pun seseorang dapat tetap tampil eksklusif. Pesan itu tentu akan lebih ampuh apabila konsep perancangan poster tersebut kemudian dikembangkan oleh pemerintah dalam berbagai media komunikasi yang dirancang dengan seksama.
Kini pemerintah, khususnya Departemen Perdagangan RI, bersama seluruh unsur masyarakat – termasuk lembaga-lembaga pendidikan tinggi DKV, sesegera mungkin harus meluncurkan kembali kampanye sosial berskala besar dengan tujuan meningkatkan kebanggaan bangsa terhadap produk Nasional. Hal ini menjadi semakin penting bila kita mengingat betapa besar anggaran belanja iklan berbagai
brand internasional yang bertujuan untuk meningkatkan hasrat membeli khalayak konsumen di Indonesia. Artinya untuk meluncurkan program Ekonomi Kreatif Indonesia, pemerintah harus melancarkan perang pencitraan melawan demikian banyak
brand internasional yang menyerbu pasar Indonesia. Kampanye sosial ini harus dirancang matang mulai dari strategi kreatif hingga strategi media yang ampuh menjangkau khalayak sasaran. Strategi kreatif dirancang dengan tujuan untuk membongkar konsep berpikir konsumen yang bangga akan produk luar negeri – khususnya khalayak sasaran menengah-atas. Hal ini harus dimulai dari hal paling mendasar, yaitu menghapus rasa rendah diri bangsa yang sudah lama tenggelam – sehingga kemudian akan berbalik menjadi bangga menggunakan produk nasional. Bila rasa bangga akan produk nasional mulai tumbuh, maka tak sulit kiranya mengajak publik untuk membeli produk dalam negeri. Tentu saja bagian penting – kalau bukan yang paling penting – dari kampanye ini adalah suri tauladan dari para pemimpin bangsa.
(Arief Adityawan S)